Keesaan Gereja-Gereja dalam Panggilan dan Kepelbagaian: Beberapa Catatan atas Studi Wilayah DKG-PGI 2024-2029
Oleh: Zakaria J. Ngelow
Keesaan dalam Panggilan
Pada bulan Mei-Juni 2024, Bidang Keesaan dan Pembaruan Gereja (KPG) PGI, menyelenggarakan serangkaian kegiatan Studi Wilayah Sosialisasi dan Pengayaan Draft DKG PGI 2024-2029 di lima kota Indonesia: Medan (wilayah Sumatra), Ambon (wilayah Maluku dan Papua), Kupang (wilayah Nusa Tenggara dan Bali), Manado (wilayah Sulawesi) dan Jakarta (wilayah Jawa dan Kalaimantan). Rata-rata 60-an peserta di setiap wilayah hadir sebagai wakil-wakil pimpinan gereja, lembaga pendidikan teologi, kalangan pergerakan perempuan, pemuda dan mahasiswa Kristen bersama para undangan lainnya dengan serius menyimak dan mendiskusikan konsep Dokumen Keesaan Gereja, yang dipersiapkan sejak tahun lalu, untuk dibahas dan diputuskan Sidang Raya XVIII PGI pada awal bulan November 2024 di Rantepao, Kab. Toraja Utara, Prov. Sulawesi Selatan.
Setelah lebih 30 tahun digumuli, sejak DGI didirikan pada tahun 1950, gereja-gereja memutuskan mewujudkan keesaan gereja-gereja di Indonesia dalam format “ecumene in action” dengan merujuk pada keesaan Allah Trinitas, Bapa, Anak dan Roh Kudus, dalam karya penciptaan, pemeliharaan, pemulihan, penyelamatan-Nya. Keesaan gereja-gereja di Indonesia semula digagas dalam penyatuan struktur kelembagaan, namun kemudian diubah haluannya menjadi keesaan dalam pelaksanaan bersama pokok-pokok panggilan gereja dalam konteks kehidupan dinamis gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dalam hubungan itu, sejak tahun 1984 ditetapkan beberapa Dokumen Keesaan Gereja (DKG) sebagai pegangan bersama, yang dibaharui setiap lima tahun dalam Sidang Raya gereja-gereja anggota. Penekanan pada “keesaan dalam tindakan” mengedepankan dokumen Pokok-pokok Panggilan dan Tugas Bersama (PPTB) gereja-gereja dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, bahkan umat manusia secara global.
Iman yang Kontekstual
Revisi DKG menjelang SR XVIII PGI kali ini, agak lebih khusus, karena dokumen Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), yang sejak 1984 hampir tidak pernah direvisi, kali ini dibaharui secara mendasar dalam perumusan yang baru. PBIK sebelumnya dinilai “tidak relevan bagi panggilan gereja-gereja di Indonesia”, sehingga perlu perumusan baru dalam perspektif kontekstual gerakan ekumene di Indonesia dan dengan menyadari kepelbagaian (perbedaan) pemahaman iman gereja-gereja anggota PGI.
Perumusan baru dibidani Prof. Joas Adiprasetya dari STFT JAKARTA bersama Dr. Casthelia Kartika dari STT Amanat Agung, yang menekankan bahwa gerakan keesaan di Indonesia adalah menghidupi keesaaan melalui partisipasi ke dalam persekutuan dan misi Allah Trinitas yang berkarya di tengah pergumulan bangsa Indonesia. Pemahan Iman ini juga memberi dasar-dasar yang kokoh bagi komitmen gereja terhadap pelayanan sosial-ekologis, kesetaraan manusia, hubungan antarumat beragama, dsb.
Diskusi yang mengemuka al. menyoal mengapa dalam konteks religiositas Indonesia yang familiar dengan keesaan Allah, justru doktrin Trinitas yang dikedepankan? Dan mengapa bukan kata Tritunggal yang dipakai ketimbang Trinitas? Diskusi doktrin lainnya menyangkut rumusan mengenai Allah yang “memilih untuk menjadi rapuh bersama dengan seluruh ciptaan yang rapuh” dalam solidaritas dengan penderitaan manusia (bd kenosis Fil. 2:5-10), dan pemahaman mengenai Alkitab sebagai karya Roh Kudus yang melibatkan unsur manusia dan budaya “sehingga menampakkan keterbatasan-keterbatasan tertentu”, namun dengan kuasa Roh Kudus juga menjadikannya sumber kebenaran Firman Allah yang tidak terbatas.
Konteks Multikrisis
Terkait panggilan bersama gereja-gereja, dokumen PPTB mengedepankan bahwa konteks Indonesia dalam beberapa dekade terakhir adalah multi-krisis: krisis ekonomi-politik dalam kehidupan kebangsaan, krisis ekologi akibat eksploitasi berlebihan sumber daya alam, krisis pendidikan dengan mutu rendah SDM Indonesia (HDI 130 of 199 countries) dan krisis keluarga, yang antara lain ditandai melemahnya nilai-nilai perkawinan dan fungsi keluarga. Gereja-gereja sendiri menghadapi krisis keesaan oleh kecendrungan konflik dan egosentrisme para pemimpinnya.
Di belakang berbagai krisis ditengarai ada krisis moral-etik, yang antara lain mengemuka sebagai kerakusan materil manusia modern yang berakibat manusia menjadi serigala bagi sesamanya, merusak alam, menghalalkan segala cara untuk kepentingan diri dan kelompok. Korupsi dan manipulasi kekuasaan terus menjadi berita utama. Maka PGI mengedepankan gagasan dan penghayatan spiritualitas keugaharian (frugal spirituality) yang dengannya orang merasa cukup dan bersyukur atas apa yang tersedia, tidak berlebihan, rela berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan berkomitmen pada kelestarian alam.
Sementara itu, fenomena perkembangan cepat ilmu pengetahuan dan teknologi modern, khususnya Artificial Intelligence (AI), yang terus berlangsung mengepung kehidupan masyarakat, diidentifikasi sebagai “disrupsi teknologi digital”. Disrupsi dimaknai memaksakan perubahan, entah menjadi lebih baik, atu sebaliknya. Maka gereja-gereja perlu memahami dan memanfaatkan kemajuan teknologi ini sebagai karunia Allah, namun perlu waspada terhadap dampak negatifnya bagi kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Di tangan manusia modern yang dilanda krisis moral-etik sifat diabolis teknologi digital berdampak negatif.
Dukungan Kelembagaan
Dokumen DKG lainnya yang dibahas adalah Tata Dasar (TD-PGI) dan Tata Rumah Tangga (TRT-PGI), sebagai lembaga yang memfasilitasi gereja-gereja dalam panggilan ekumenis. Selain beberapa penambahan dan perbaikan redaksional, hal yang mendapat perhatian adalah atribut dan dokumen hukum kelembagaan PGI, hubungan PGI dan PGIW (PGI Wilayah), serta tempat POUK (Persekutuan Oikoumene Umat Kristen) dalam gerakan keesaan. Hakekat PGIW adalah pelembagaan dinamika keesaan gereja-gereja sewilayah, yang karena itu tergantung pada hubungan kerjasama gereja-gereja anggotanya. POUK berkembang menjadi model persekutuan Kristen pasca-denominasi, di mana berbagai perbedaan dilebur ke dalam hidup persekutuan yang memberi tempat pada latar kepelbagaian tradisi gereja warganya.
Usul-usul juga dikemukakan untuk aturan terkait pengelolaan aset PGI, yang pada beberapa periode terakhir berhasil memulihkan sejumlah aset PGI yang bermasalah. Juga perhatian terkait kriteria personalia MPH-PGI, yang kadang diabaikan para pimpinan gereja dalam nominasi di Sidang Raya. Salah satu hal yang ditambahkan mengenai keanggotaan PGI adalah gereja-gereja yang tidak/belum memenuhi syarat sebagai anggota dapat diterima sebagai anggota afiliasi.
Keesaan dan Kepelbagaian
Dalam dasarnya, keesaan gereja-gereja di Indonesia bertumpu pada dua prinsip: keesaan dalam panggilan, dan keesaan dalam kepelbagaian. Keesaan dalam panggilan dirumuskan dalam dokumen PPTB, sedangkan keesaan dalam kepelbagaian dalam dokumen Komitmen Keesaan Gereja (KKG). KKG tidak direvisi karena isinya tetap relevan sebagai rekaman kehidupan antargereja, khususnya dalam saling mengakui dan saling menerima dalam perbedaan-perbedaan.
Memang masih sering ada titik-titik konfliknya. Misalnya baptisan ulang karena ada tradisi baptis dewasa dan/atau baptis selam berhadapan dengan baptis anak dengan cara percikan. Ada penolakan pertukaran pelayan pemberitaan firman antar gereja yang berbeda denominasi (biasa keliru disebut “tidak seasas”). Dan yang juga sempat dimasalahkan adanya klaim teritorial yang berusaha membatasi pembentukan jemaat gereja lain di wilayah tertentu, spalagi yabg secara historis dibakukan sejak awsl, misalnya dalam rumpun Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Makin ke sini makin disadari bahwa gereja-gereja harus berubah dan terbuka menerima perbedaan-perbedaan, juga terkait format kelembagaan, seperti klaim teritorial itu. Dalam persekutuan ekumenis perbedaan-perbedaan format kelembagaan gereja sama diterima: teritorial, etnis, denominasi.
Penekanan lain dalam KKG menyangkut komitmen antargereja untuk saling topang dalam upaya kemandirian teologi, daya dan dana. Keesaan gereja-gereja, yaitu panggilan bersama pada mengiring Tuhan di jalan misi-Nya hanya dapat dilakukan gereja-gereja dengan tingkat kemandirian teologi, daya dan dana yang memadai.
Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu dokumen, Keesaan gereja-gereja adalah sekaligus karunia Allah dan kehendak-Nya. Keesaan karunia Allah karena gereja dibentuk Roh Kudus dalam kesatuan: “Satu tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, dan satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, yang di atas semua, melalui semua, dan di dalam semua.” (Ef. 4:4-6). Keesaan gereja-gereja kehendak Allah, sebagaimana doa Yesus, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17: 21).
Makassar, 16 Juli 2024
Penulis, Anggota Tim Kerja DKG PGI 2024-2029