Kedamaian Berbangsa Menuju Pemilu 2024 Tanpa Politisasi Agama
Oleh: Pdt Gomar Gultom
Sebagai bangsa, kita telah menetapkan demokrasi sebagai kendaraan menuju masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Dan salah satu prasyarat negara demokrasi adalah penyelenggaraan Pemilu secara berkala, sebagai mekanisme berkala pemilihan wakil rakyat untuk menjadi penyelenggara negara. Pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat.
Dengan demikian melalui Pemilu 2024 rakyat Indonesia sedang menilai kontrak yang pernah diberikan kepada wakil-wakilnya di masa lalu, dan pada saat sama juga akan menentukan orang-orang yang dipercayai untuk memimpin negeri ini ke masa depan.
Sebagai demikian, sekalipun Pemilu 2024 bukanlah segala-galanya bagi tegaknya NKRI dan bagi upaya pensejahteraan masyarakat yang adil dan makmur, namun tanpa Pemilu 2024 yang berkualitas akan mempersulit masyarakat dan bangsa Indonesia menggapai keadilan dan kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita semua memperjuangkan dan mengawal penyelenggaraan Pemilu 2024 ini untuk sungguh-sungguh mencerminkan nilai-nilai demokrasi, yakni kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan profesionalitas, dengan tetap berpegang teguh pada keutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kita bersyukur bahwa sejak Reformasi 1998, Indonesia telah mampu menyelenggarakan Pemilu yang makin mencerminkan nilai-nilai demokrasi, dan telah melahirkan penyelenggara yang lebih mencerminkan kehendak rakyat. Namun dari pengalaman Pemilu akhir-akhir ini, terlihat makin menggejalanya pengedepanan Politik Identitas, yang ditengarai juga akan mewarnai penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan datang.
Kenyataan kemajemukan Indonesia memang merupakan lahan subur dan konsekwensi logis bagi muncul dan berkembangnya Politik Identitas. Keberadaan identitas sebuah kelompok atau komunitas, entah agama atau etnis, di ruang publik, dengan mudah dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi kalau para kontestan tidak memiliki profesionalitas yang mumpuni dan rekam jejaknya terasa kurang, akan tergoda untuk mengedepankan Politik Identitas. Dan penggunaan sentimen agama merupakan pendekatan yang sangat digermari mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamaniah.
Sesungguhnya Politik Identitas ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi kehadirannya menjanjikan suatu kebaikan, namun di sisi lain cenderung melanggar hak-hak kelompok identitas lain. (bandingkan Bush: “kita atau musuh”). Oleh karena itu, kalau Politik Identitas tidak bisa dihindari, maka yang perlu adalah bagaimana mengelola ekspresinya di ruang publik.
Kalau kita perhatikan awal kemunculan Politik Identitas, terlihat bahwa dia berawal dari perjuangan kelompok-kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Penggunaan Identitas tertentu selalu merupakan perjuangan sekelompok orang yang merasa tersingkir oleh dominasi arus besar, dan perjuangannya adalah Keadilan untuk Semua. Gerakan Martin Luther King dan Black Moslem dll: karena mengalami perlakuan yang tidak adil dan ingin diberlakukannya persamaan dalam masyarakat. Semuanya mengarah pada dorongan untuk memperoleh persamaan hak dan derajat atas kelompok dominan atau mayoritas dan lebih didorong oleh perjuangan keadilan sosial, bukan karena kepentingan politik tertentu.
Sayangnya, yang berkembang di Indonesia belasan tahun terakhir ini, Politik identitas dilakukan oleh kelompok mainstream, dengan niat ”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya ”menyimpang” atau ”menyeleweng”. Meski di permukaan isu yang kedengarannya indah, namun pada kenyataannya ini tak lain dari politisasi (bahkan instrumentalisasi) identitas tertentu, entah etnis atau agama, dan tragisnya, seraya menegasikan bahkan menyingkirkan mereka yang berasal dari identitas yang berbeda.
Dengan demikian sesungguhnya yang perlu diupayakan adalah bagaimana mengelola Politik Identitas ini tetap dalam semangat Pluralisme. Pluralisme tidak berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu. Pluralisme intinya adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Pluralisme tidak bermaksud melebur berbagai identitas yang ada, tetapi merangkai dengan indah berbagai identitas itu demi tujuan kemanusiaan yang hakiki.
Selain itu, Politik Identitas itu diarahkan untuk menghadirkan diri sebagai narasi perlawanan dari mereka yang terpinggirkan dan menghadirkan diri sebagai wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.
Maka untuk mewaspadai pragmatisme politik yang akhirnya mempolitisasi atau menginstrumentalisasi agama atau etnis, diperlukan partai yang kuat sebagai soko guru demokrasi, yang mempersiapkan proses kaderisasi yang memampukan para kadernya bekerja profesional, tampil dengan kontentasi berbasis visi dan program ketimbang pendekatan primordial dan sektarian, yang potensial membuat perpecahan. Sebuah partai sehat, yang kukuh pada perjuangan kesetaraan dan nilai-nilai universal.
Akhirnya, saya ingin mengutip Buya Syafii Maarif yang berbicara tentang Politik Identitas demikian: “Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.”
Penulis, Ketua Umum PGI