Hutan Antaboga Banyuwangi, Hutan Toleransi

PGI.OR.ID – Kiky, perempuan muda berusia 22 tahun amat terkesan dengan Hutan Antaboga di Banyuwangi, Jawa Timur. Bersama dua orang temannya, perempuan berjilbab itu menceritakan kesan yang dirasakan. Ketika ia mendatangi Hutan Antaboga di Kecamatan Glenmore, 2 jam perjalanan dengan kendaraan mobil dari pusat kota Banyuwangi, Jawa Timur, ia mengaku amat nyaman.
Menurut Kiky, Hutan Antaboga bukan hutan bukan pinus biasa seperti hutan-hutan yang ada di Indonesia. “Saya cukup sering ke hutan-hutan di jawa Timur ini tapi hutan pinus ini berbeda. Karena saat memasuki hutan tersebut, suasana selain sejuk dan juga tenang. Saya kaget awalnya karena ada tempat-tempat peribadatan agama-agama. Itu yang membuat beda. Hutan Toleransi Beragama,” katanya.
Kiky bercerita, lokasi objek wisata dinamakan Antaboga masuk dalam kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Barat. Di dalam kawasan hutan pinus itu terdapat Pura Beji Ananthaboga dengan petirtaan atau pemandian yang terletak di lereng Gunung Raung.
Hutan Antaboga berada di lereng Gunung Raung mempunyai luas sekitar 3 hektare. Kiky juga menambahkan, dari informasi yang ia cari, Antaboga atau Anataboga atau Anantaboga adalah seekor ular raksasa di mitologi Bali. Ia diceritakan pada awal mitologi, pada penciptaan dunia. Pada suatu saat Antaboga bermeditasi dan kemudian menjadi seekor penyu bernama Bedawang.
Dalam pewayangan Jawa, Antaboga adalah raja ular yang hidup di dasar bumi yang mengasuh Wisanggeni. Perwujudannya adalah naga dengan mahkota memakai badhong berambut dan memakai baju [biasanya berwarna merah] serta mengenakan kalung emas.
Ada pula yang menyatakan bahwa Antaboga adalah tali energi yang menghubungkan manusia melalui cakra mahkota dengan Sang Maha Pencipta. Pemahaman ini dikenal dikalangan para penganut spiritual kejawen.
Namun arti Antaboga sendiri adalah Ananta berarti tidak pernah habis, sedangkan Boga adalah makanan, jadi Anantaboga adalah makanan yang tidak akan habis. “Seru yang artinya. Dan saya bersama teman-teman juga merasakan suasana yang tenang. Betah deh di sini,” tandasnya.
Kiky mendapat informasi dari pemandu wisata di Hutan Antboga bahwa tempat ini awalnya untuk peribadatan umat Hindu dan Budha, namun kemudian diakomodir bagi penganut agama lainnya, sehingga selain beribadah pengunjung bisa menikmati suasana sejuk hutan pinus.
“Jadi tidak hanya Pura Beji Ananthaboga, ada pula Surau atau Mushola untuk pengunjung yang beragama Islam, altar dengan patung Dewi Kwan Im untuk umat Budha dan Konghucu, juga ada bukit Maria Medali Wasiat, bukit Yesus, dan bukit Maria yang memangku Yesus bagi umat nasrani untuk beribadah. Jaraknya juga tidak terlalu jauh satu dengan yang lain sehingga bagi kita yang datang tidak terlalu lelah dari satu tempat ke tempat lainnya,” terangnya.
“Saya melihat, pengunjung bebas menikmati suasana. Bahkan kita yang mau sholat jadi merasa nyaman juga karena ada tempatnya tersendiri. Atau kalua kita juga ingin melihat orang-orang yang sedang melakukan peribadatannya. Meski tadi saya lihat dari jauh, mereka yang beribadat juga nampak khusuk. Tak terganggu meski ada yang melihat dari jauh. Saya merasa ini contoh yang baik. Ada satu tempat wisata hutan dengan aneka rupa tempat peribadatan agama-agama yang ada di Indonesia. Kita sekaligus belajar menghargai sesama meski kepercayaan kita berbeda. Juga kita dapat suasana hutan pinus yang asri, tenang dan sejuk,” kata Kiky.
Ia juga menambahkan, pemandu wisata menjelaskan, pengunjung juga bisa menginap di area itu di pondok-pondok yang telah disediakan. “Ada peraturannya kata pemandu wisata tadi. Harus bersih, tidak boleh bawa makanan banyak seperti pesta. Secukupnya saja,” aku Kiky.
Soal biaya masuk, kata Kiky juga tidak dikenakan tarif khusus. “Ada semacam kotak amal di masing-masing tempat peribadatan agama sebagai bentuk donasi bagi para pengunjung yang telah datang ke tempat itu. Ini bagus ya. Kita juga jadi ikut memelihara dengan donasi yang kita berikan. Hal semacam ini perlu dilestarikan dan ditiru di tempat-tempat lainnya. Bahwa tempat wisata juga bisa menjadi tempat membangun toleransi antar umat,” ujarnya sambil menjelaskan semua tempat peribadatan di hutan itu sudah ia lihat.
Hutan Antaboga sendiri memang dikelola oleh Dinas Pariwisata Banyuwangi sebagai satu destinasi wisata keagamaan bagi wisatawan mancanegara dan lokal.
Artikel ini ditulis bekerjasama dengan PUSAD Paramadina dan didukung GUYUB – UNDP.
Pewarta : Phil Artha dari berbagai sumber