Gereja Kristus yang Esa: Menuju Kesatuan dalam Fungsi di Tengah Tantangan Zaman

JAYAPURA,PGI.OR.ID-Kesatuan gereja sebagai satu tubuh Kristus merupakan fondasi teologis yang sangat penting dalam kehidupan iman Kristen. Di tengah tantangan zaman modern yang kompleks, meliputi aspek sosial, budaya, dan teknologi, gereja harus menghidupi kesatuan ini secara nyata, bukan hanya sebagai idealisme teologis, melainkan sebagai kebutuhan praktis agar dapat menjalankan panggilan dan tugasnya secara efektif.
Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan dalam Semikola Teologi dan Penjemaatan DKG, yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menyambut 75 tahun PGI, di Papua dan Papua Barat, 22-25 Mei 2025.
“Kesatuan ini menjadi landasan bagi gereja untuk bersaksi, melayani, dan berkontribusi dalam membangun kehidupan bersama yang harmonis dan berkeadilan. Dengan pemahaman dan penerapan kesatuan gereja sebagai satu tubuh Kristus yang berfungsi sinergis, gereja dapat tetap teguh dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman serta menjalankan misi ilahi di dunia yang terus berubah,” tandasnya.
Menurutnya, konsep “Gereja Kristus yang Esa” telah mengalami perjalanan panjang dalam pemahaman dan implementasinya, khususnya dalam konteks keberagaman denominasi dan sinode di Indonesia. Pada awalnya, kesatuan gereja diibaratkan seperti sebuah apel yang utuh, satu kesatuan yang benar-benar menyatu dalam segala aspek, mulai dari tata ibadah, tata gereja, hingga struktur organisasi.
“Visi ini menginginkan adanya satu tata ibadah yang seragam, satu tata gereja yang terpadu, dan kesatuan absolut sehingga gereja tampil sebagai satu entitas homogen tanpa perpecahan. Gambaran apel ini melambangkan kesatuan struktural yang ideal, di mana semua elemen gereja berjalan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, seiring waktu dan pengalaman nyata di lapangan, visi kesatuan struktural ini dirasakan tidak realistis untuk diwujudkan. Keberagaman sinode, latar belakang budaya, tradisi, dan teologi yang berbeda membuat penyatuan secara struktural menjadi sangat sulit bahkan hampir mustahil.
“Realitas ini memaksa para pemimpin dan jemaat untuk merefleksikan kembali konsep kesatuan gereja. Dari sini muncul analogi baru yang lebih fleksibel dan kontekstual, yaitu kesatuan gereja dianalogikan sebagai jeruk, terdiri dari bagian-bagian berbeda namun tetap satu dalam kesatuan buah itu sendiri. Kesatuan ini bukan lagi soal keseragaman organisasi, melainkan kesamaan tujuan dan kesetiaan dalam menjalankan panggilan Kristus di dunia,” jelas Sekum PGI.
Ia menambahkan, dalam Sidang Raya Ambon, konsep ini diperjelas sebagai satu tubuh Kristus yang aktif melaksanakan misi dan panggilan-Nya di tengah dunia yang beragam. Pendekatan ini membuka ruang dialog, kolaborasi, dan pelayanan bersama yang inklusif, sehingga gereja dapat menjadi saksi yang hidup dan efektif di tengah masyarakat yang terus berubah.
Lebih jauh Pdt. Darwin Darmawan menjelakan, Gereja saat ini menghadapi berbagai tantangan kompleks yang disebut sebagai “polycrisis,” yaitu krisis yang bersifat saling terkait dan meliputi aspek internal maupun eksternal. Tantangan utama meliputi krisis kebangsaan yang menuntut gereja menjadi agen pemersatu di tengah keberagaman etnis, agama, dan budaya; krisis ekologi yang mengharuskan gereja menjadi pelopor pelestarian lingkungan; krisis kesatuan gereja akibat perpecahan sinode dan denominasi; krisis keluarga yang mempengaruhi kehidupan jemaat; krisis pendidikan yang berkaitan dengan kualitas dan akses pendidikan; serta tantangan baru dari kecerdasan buatan yang memerlukan respons etis dan bijak.
Semua krisis ini, ujarnya, menuntut gereja untuk bersikap kritis, kreatif, dan sinergis agar tetap relevan dan efektif dalam menjalankan panggilannya sebagai tubuh Kristus yang hidup. Sebagai respon, gereja mengedepankan pendekatan oikumenis yang menempatkan pendidikan teologi sebagai pilar utama dalam memperkuat semangat kesatuan dan pelayanan. Institusi seperti Sekolah Tinggi Teologi (STT) dan Fakultas Teologi berperan strategis dalam membekali pemimpin gereja dengan wawasan ekumenis yang mendalam. Konsep Trinitas (tiga dalam satu) menjadi fondasi teologis yang mengajarkan kesatuan dalam keberagaman fungsi dan peran, bukan keseragaman yang memaksa.
“Indonesia, dengan keberagaman budaya dan suku, dipandang sebagai karunia Allah yang mengajak gereja untuk menjadi agen transformasi sosial yang konstruktif dan penuh kasih. Melalui PPTB, gereja dapat merumuskan strategi kolaboratif yang holistik dan sinergis, sehingga mampu menghadapi tantangan zaman dengan hikmat dan keberanian, serta menghidupi kesatuan fungsional sebagai satu tubuh Kristus yang dinamis dan relevan,” tandas Pdt. Darwin Darmawan.