Gandeng UKSW, PGI Selenggarakan Lokakarya Bahas Pasang Surut KBB di Indonesia
SALATIGA,PGI.OR.ID-PGI menyelenggarakan seminar dan lokakarya bertajuk “Pasang Surut Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia”, bekerjasama dengna Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Kota Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (5/12/2024).
Seminar dan lokakarya ini merupakan bagian dari rangkaian roadshow rumahbersama.id. Rumah Bersama sendiri merupakan suatu platform digital yang diinisiasi oleh bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI (KKC-PGI), dengan tujuan mengumpulkan dan mengkurasi data pelanggaran KBB berikut praktik baik yang mendukung terciptanya KBB di Indonesia.
Acara dihadiri langsung oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Gomar Gultom, M.Th, dan dua narasumber lainnya yakni Wakil Dekan Fakultas Teologi UKSW Pdt. Irene Ludji, MAR., Ph.D; akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera (STIH Jentera) Asfinawati; dan dipandu inisiator rumahbersama.id yang juga melayani sebagai Sekretaris Eksekutif KKC-PGI Pdt. Jimmy Marcos Immanuel Sormin, M.A.
Pdt. Gomar Gultom mengawali dengan memberi penerangan berdasarkan perspektif Firman Tuhan, bahwa manusia diciptakan seusai dengan gambar Allah, sehingga sifat-sifat Ilahi ikut ditanamkan Tuhan kepadanya.
“Orang Kristen memahami, kita manusia apa pun agamanya, apa pun sukunya, dia adalah gambar Allah. Sebagai gambar Allah, Tuhan menanamkan sifat keilahian kepada setiap orang, siapa pun dia, agama apa pun dia. Sehingga harkat kemanusiaannya harus dihormati,” bukanya.
Berangkat dari perspektif itu, lanjut Ketum PGI, sangat menjunjung tinggi penegakkan Hak Asasi Manusia, di mana salah satu hak yang ada di dalamnya adalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. “Kebebasan beragama adalah sebuah hak yang tidak bisa dikurangi oleh alasan apa pun,” tegasnya.
Dia pun menyoroti upaya pemajuan, penegakkan dan perlindungan HAM yang terkesan jalan di tempat dalam sepuluh tahun terakhir. Sejatinya UUD 1945 hasil amandemen, Keppres 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM, TAP MPR RI No. 17 Tahun tentang HAM dan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang HAM telah menjamin penegakkan HAM di Tanah Air. Namun pada akhirnya hanya menjadi catatan normatif semata yang masih jauh dari kenyataan.
Khusus membahas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Pdt. Gomar mengkritisi masih terjadinya ketidakhadiran negara dalam banyak kasus pelarangan ibadah. Fakta tersebut menurutnya juga diperparah dengan sikap tunduk aparat penegak hukum kepada konstituennya yang terdiri dari sekelompok orang, daripada menegakkan konstitusi itu sendiri.
Kesulitan untuk mengakses hak-hak sipil, lanjutnya, juga kerap mewarnai realitas kehidupan kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan korban dari praktik tak berkeadilan ini dialami pula oleh para pengikut agama asli di Indonesia. “Dalam kerangka itulah kita membutuhkan Rumah Bersama yang digagas oleh KKC PGI. Karena sekarang ini berlaku adagium ‘No Viral, No Justice’,” tambahnya.
Semengtara itu, Pdt. Irene Ludji dalam sesinya turut menyinggung bagaimana negara memainkan peran penting dalam menjamin kebebasan beragama. Meski masyarakat Indonesia kerap mengklaim dirinya sebagai bangsa yang pluralistik pada kenyataannya banyak tantangan serius yang mesti dihadapi di lapangan.
“Kebebasan beragama di Indonesia sangat terkait dengan dinamika politik. Kepentingan politik yang dipertaruhkan dalam pengaturan kebebasan beragama seringkali fokus pada isu-isu identitas agama dan kontrol sosial. Dalam beberapa kasus kebebasan beragama menjadi dibatasi atau dipraktikkan dengan mengutamakan norma-norma kelompok-kelompok mayoritas,” buka Irene.
Irene kemudian memetakan potensi dan tantangan KBB di Indonesia. Irene secara gamblang menyampaikan bahwa negara memang memberi ruang bagi agama dalam kehidupan publik, tetapi negara juga terlibat dalam pembatasan kebebasan beragama.
Contoh lain tantangan adalah bagaimana warga negara dapat secara bebas dalam memilih agama sesuai dengan keyakinan mereka, tetapi di sisi lain terdapat pembatasan izin dalam mendirikan rumah ibadah.
“Tantangan lainnya adalah, beberapa institusi pendidikan misalnya mengajarkan nilai-nlai toleransi kerukunan antar umat beragama, tetapi pendidikan agama yang diajarkan itu pendidikan agama yang sempit, yang eksklusif, yang kurang mengajarkan nilai toleransi antar agama. Kemudian ada kebijakan pemerintah yang mendukung kerukunan antar umat beragama, tetapi kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas juga tidak sedikit,” ungkap alumni dari Claremont Graduate University, ini.
Merespon pasang surut kondisi KBB di Indonesia, Pdt. Irene Ludji menawarkan pendekatan etika sebagai jalan keluar bagi permasalahan KBB, yakni Virtue Ethics.
“Virtue Etchics adalah bangunan teori yang memungkinkan terjadinya perubahan karena kesadaran moral individu yang merupakan bagian dari komunitas. Jadi dia ditanam perlahan-lahan di dalam diri individu supaya pada saat dia berbuah itu buahnya manis,”
Lebih lanjut Irene menjelaskan, di dalam Virtue Etchics ada kemampuan praktik yang bersifat latihan. Selain itu, Virtue Ethics juga terdapat kesadaran bahwa setiap individu manusia tidak ada yang sempurna.
“Dan karena itu perlu usaha terus menerus, Latihan terus menerus supaya orang mencapai yang terbaik potensi yang ada pada dirinya. Virtue Ethics memungkinkan kita untuk memilih apa yang Terbaik, Terbenar, dan Tertepat di antara pilihan-pilihan yang lain,” ungkapnya.
Mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang juga akademisi STIH Jentera, Asfinawati, mengurai kondisi KBB di Indonesia dari aspek hukum. Dia lalu membuka Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan rentang tahun 2008 hingga 2018 yang diterbitkan oleh Wahid Foundation.
Asfin menyebut, laporan tersebut mengungkap bahwa jumlah pelanggaran non negara terhadap KBB pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih banyak ketimbang di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Pemerintahan Jokowi menghadapi 577 pelanggaran non negara, atau 12 tindakan pelanggaran perbulan. Pemerintahan SBY total 691 atau 14 tindakan perbulan,” ujar Asfin.
Asfin juga mengkritisi penggunaan Norma Agama sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia, yang merupakan negara hukum. Salah satunya penggunaan Norma Agama yang dimuat di dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan.
“Jadi di dalam negara hukum, Norma Agama dijadikan rujukan. Hebat nggak? Norma Agama siapa (yang digunakan), agama kan banyak ya. Ya pasti agama yang mayoritas dong, bukan agama yang minoritas,” ungkap Asfin.
Asfin lalu menyinggung temuannya di sejumlah pasal Undang-Undang dan putusan hukum terkait kerukunan di Tanah Air. Asfin melihat bagaimana selama ini “kerukunan” memiliki banyak wajah yang dijadikan sebagai sebuah alat kontrol terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan tanpa disadari oleh banyak orang.
Sebagai jalan keluar, dirinya mengajak semua pihak untuk memahami bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum harus konsisten dalam menempatkan Norma Hukum sebagai norma tertinggi, sebagai kunci bagi terciptanya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Tanah Air.
“Padahal kita negara berdasarkan hukum. Kalau kita konsisten dengan ini (kedudukan Norma Agama yang setara dengan Norma Hukum) akan bingung. Orang yang belajar hukum secara konsisten akan kebingungan. Kok bisa Norma Agama dipatuhi selain Norma Hukum? Harusnya nilai-nilai agama yang baik, Norma Agama, itu diserap ke dalam hukum,”tegasnya.
Penulis: Ronald Patrick