Seminar Agama-Agama (SAA) ke-39
Seminar Agama-Agama (SAA) ke-39
H. Dedi Mulyadi, S.H., M.M
Sambutan Gubernur Jawa Barat
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Menteri Agama Republik Indonesia
Pdt. Darwin Darmawan
Sekretaris Umum PGI
Halili Hasan, M.A
SETARA Institute
Asfinawati, M.Fil
STH Indonesia Jentera
Ihsan Ali Fauzi
PUSAD Paramadina
M. Adib Abdushomad, Ph.D
PKUB Kementerian Agama
Pendahuluan
Tahun 2024-2025 merupakan periode paling menantang dalam hal kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Rilis tahunan dari SETARA Institute menyatakan bahwa sepanjang tahun 2024 telah terjadi 260 peristiwa yang mencakup 402 tindakan pelanggaran terhadap KBB. Data itu mencerminkan lonjakan signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bukan hanya jumlah peristiwa dan tindakannya yang mengkhawatirkan, tapi juga beragamnya latar belakang pelaku tindakan intoleran serta keterlibatan negara dalam bentuk tindakan diskriminatif. Dari 402 tindakan, 159 di antaranya dilakukan oleh aktor negara (state actors) seperti pemerintah daerah, kepolisian, Satpol PP, TNI, serta kejaksaan dan Forkopimda; sedangkan 243 tindakan dilakukan oleh aktor non negara (non-state actors), meliputi ormas keagamaan, kelompok warga, hingga tokoh masyarakat. Memburuknya kondisi KBB di Indonesia memperlihatkan tiga tren mencolok. Pertama, intoleransi oleh masyarakat meningkat drastis, dari hanya 26 tindakan pada tahun sebelumnya menjadi 73 tindakan di tahun 2024. Selain itu, tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh state actors juga naik, dari 23 menjadi 50 tindakan. Kedua, penggunaan pasal penodaan agama meningkat hampir dua kali lipat, dengan 42 kasus terdata (termasuk pelaporan dan penetapan tersangka) dibandingkan hanya 15 kasus pada 2023. Ketiga, gangguan terhadap pendirian dan aktivitas keagamaan di rumah ibadah tetap saja terjadi. Walau dari segi jumlah ada sedikit penurunan, dari 65 menjadi 42 kasus, namun tetap saja menjadi tanda bahwa tindakan penghambatan yang dilakukan secara sistemik belum juga tuntas ditangani. Secara geografis, Jawa Barat kembali menjadi provinsi dengan jumlah pelanggaran KBB terbanyak pada tahun 2024, yaitu sebanyak 38 peristiwa, diikuti oleh Jawa Timur (34), DKI Jakarta (31), Sumatera Utara (29), Sulawesi Selatan (18), dan Banten (17). Kondisi ini mencerminkan bahwa intoleransi bukan hanya terjadi di wilayah pinggiran, melainkan juga di pusat kekuasaan dan berbagai daerah strategis. Realitas intoleransi bahkan hadir dalam bentuk tindakan diskriminatif yang berulang, misalnya penyegelan kembali Masjid Istiqamah milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Banjar, Jawa Barat, oleh aparat pemerintah daerah, pada paruh pertama 2025 (berdasarkan regulasi diskriminatif yang seharusnya direvisi), menjadi simbol hambatan serius terhadap kebebasan. Dalam konteks kekerasan berbasis gender dan agama, Komnas Perempuan mencatat delapan kasus intoleransi sepanjang 2025, termasuk yang terjadi di Padang, dengan kekerasan yang menyasar umat yang sedang melakukan aktivitas keagamaan, termasuk anak-anak dan perempuan. Tentu hal ini merepresentasikan betapa rentannya kelompok minoritas serta kaum perempuan dan anak terhadap praktik diskriminatif yang seharusnya tidak terjadi di negeri Pancasila. Begitu pula, peristiwa sebelumnya, yaitu pembubaran retret remaja Kristen di Kampung Tangkil, Cidahu, Sukabumi, pada Juni 2025, turut mencoreng wajah toleransi negeri ini. Padahal kegiatan yang mereka lakukan adalah kegiatan positif yang membentuk karakter generasi muda. Jika pemerintah dan aparat penegak hukum gagal mengantisipasi dan menindak praktik seperti ini, peristiwa tersebut akan menjadi preseden buruk bagi masa depan pendidikan toleransi di Indonesia. Semua data dan peristiwa tersebut di atas mengingatkan kita bahwa kerukunan bukanlah sesuatu yang otomatis terwujud hanya dengan mendaku negeri kita sebagai negeri yang “Bhinneka Tunggal Ika”. Toleransi tanpa ditopang oleh keadilan dan keberpihakan nyata pada yang lemah, dapat jatuh ke dalam “toleransi seolah-olah” yang amat rapuh dan dapat dengan mudah ternoda oleh tindakan atau kebijakan yang diskriminatif. Sebagai bangsa berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, kita sesungguhnya memiliki pijakan normatif sekaligus modal konstitusional untuk menegakkan keadilan, yaitu dasar negara dan konstitusi, demi menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan. Di sisi lain, kita menemukan bahwa beragamnya suku dan etnis di Nusantara ternyata menampilkan pula beragamnya karakter komunal, kultur, dan kearifan lokal. Ada etnis tertentu yang lebih terbuka dan lebih mudah menerima keragaman dan membangun keharmonisan antarumat beragama. Sementara, ada juga etnis lain yang memang secara historis dibangun di atas pondasi religius agama tertentu selama beratus-ratus tahun, sehingga nilai-nilai agama itu telah terintegrasi ke dalam sistem kehidupan dan pola relasi etnisnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri dan tidak boleh dinegasi. Dalam kultur etnis yang terintegrasi dengan nilai-nilai agama tertentu, bisa jadi tetap ada ruang untuk toleransi melalui praktik-praktik atau pemenuhan kondisi-kondisi tertentu. Keragaman kearifan lokal ini tentu juga perlu dihormati dan diterima sebagai bagian utuh dari budaya Nusantara yang memang tidak berwajah tunggal. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia terpanggil untuk merespons panggilan mendesak untuk memperjuangkan keadilan dalam penegakan kebebasan beragama atau berkeyakinan, seraya terus membangun dan merawat keharmonisan, kerukunan, dan toleransi di tengah kehidupan berbangsa. Bahkan, keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama, sesungguhnya bisa menjadi starting point yang efektif dalam menegakkan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Ketika kerukunan terbangun dan terjaga, para tokoh agama bersama-sama dengan tokoh masyarakat memiliki “ladang yang subur” untuk menabur benih-benih penyadaran kepada masyarakat luas akan manfaat dan pentingnya bersama-sama memastikan bahwa hak-hak beragama atau berkeyakinan terpenuhi dengan baik. Ketika masyarakat beragam agama di berbagai daerah memiliki kesadaran bahwa walaupun berbeda dalam agama, namun bersama dalam kemanusiaan, niscaya penghargaan pada hak-hak untuk melakukan aktivitas keagamaan pun akan terjamin.
Detail Event
- Tanggal: 19 November 2025 - 22 November 2025
- Waktu: 09.00-17.00
- Lokasi: Gedung GKPB Fajar Pengharapan, Satelit Lembang Bandung Utara
Apa yang akan Anda dapatkan
1. Memetakan tantangan dan kendala terkini yang bersifat empirik di berbagai daerah di tanah air dalam mewujudkan keadilan relijius dan kerukunan umat beragama. Dengan pemetaan ini diharapkan terjadi penguatan-penguatan jejaring lokal untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan. 2. Menggali praktik-praktik baik (best practices) oleh komunitas-komunitas agama dan kepercayaan dalam membangun keharmonisan dan kerukunan di antara umat beragama, seta dalam mencegah dan memitigasi peristiwa intoleransi serta memediasi dan mengadvokasi pasca kejadian. Dengan membincangkan best practices, pewacanaan KBB tidak berhenti pada krisis, tantangan, dan hambatan, namun juga dapat menghadirkan harapan positif di masa depan. 3. Mencandra kemungkinan-kemungkinan pendekatan penguatan institusi/organisasi/forum dan komunitas sipil untuk memperkuat keharmonisan dan kerukunan umat beragama. Saat ini sudah ada puluhan bahkan ratusan OSM/NGO yang berfokus pada isu KBB, sehingga yang dibutuhkan adalah membincangkan pendekatan-pendekatan baru dan segar dalam melakukan edukasi maupun advokasi isu KBB. 4. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang pokok-pokok kebijakan penegakan KBB yang berkeadilan sekaligus ramah kearifan lokal. Dengan demikian, pemerintah mendapatkan masukan-masukan baru sehingga isu KBB tidak melulu didekati dengan pendekatan keamanan, kondusifitas, dan stabilitas saja, namun juga mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan penegakan HAM yang sangat penting. 5. Memperkuat jejaring relasi dan kolaborasi lintas iman di antara majelis-majelis agama serta organisasi-organisasi dan komunitas-komunitas faith-based sebagai model kerukunan yang dapat diteladani masyarakat. Dengan terwujudnya keharmonisan dan kerukunan di antara para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan komunitas-komunitas masyarakat sipi, akan terwujud bukan hanya interfaith dialogues, namun juga interfaith actions yang lebih memberi dampak.
Topik yang akan dibahas
- Tidak ada topik
Kesimpulan
SAA kali ini diharapkan tidak berhenti pada retorika deklarasi, tetapi mengalir terus dalam komitmen kolektif dan rencana aksi tindak lanjut konkret. Komitmen dan aksi itu kiranya akan semakin memperkokoh kerukunan dan keharmonisan di antara umat beragama, memperkuat perlindungan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan, memberi ruang afirmatif bagi kelompok relijius minoritas, dan memastikan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan bukan sekadar idealisme, tetapi sungguh-sungguh menjadi kenyataan yang bersifat inklusif (rukun dan toleran satu sama lain) di setiap sudut tanah air Indonesia. Harapan kami SAA ke-39 PGI mendapatkan dukungan dan partisipasi luas dari berbagai kalangan yang menjadi sasaran kegiatan maupun para stakeholders yang memiliki perhatian dan kepedulian pada pemeliharaan keharmonisan serta kerukunan umat beragama dan penegakan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan demikian, kegiatan ini akan berjalan dengan lancar, memberi hasil yang baik, dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.

