Di Tengah Tantangan Sekolah Kristen, PGI Ingatkan Pentingnya Kolaborasi Nyata

JAKARTA,PGI.OR.ID-Realitas menunjukkan dari ribuan sekolah Kristen banyak yang tutup. Kalaupun ada yang bertahan hingga kini, keadaannya tidak terlalu menggembirakan. Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, mencatat 40% berada dalam penurunan yang signifikan dalam penerimaan siswa, dan terancam tutup. Sedangkan 30% lainnya mengalami stagnan.
Sementara itu, tercatat hanya 30% yang mengalami pertumbuhan peserta didik, itu pun hanya 10% yang pertumbuhannya (di atas 5%) mendekati angka pertumbuhan umat Kristen di Indonesia yang rata-rata 7-7,6%. Dalam pada itu, juga MPK mencatat, tidak mungkin sekolah-sekolah Kristen dapat bertahan hidup dengan kualitas prima atau unggulan, jika berjalan sendiri-sendiri.
Mengacu data MPK, PGI pun mengingatkan pentingnya kolaborasi, terlebih di jaman ini, khususnya dengan perkembangan dunia digital. Kolaborasi memampukan kita menggabungkan berbagasi sumber daya, dan kompetensi yang ada, dari berbagai pihak, untuk memberikan kontribusi masing-masing demi mengoptimalkan pencapaian tujuan pendidikan.
“Saya kira, semua pihak menyepakati ini. Sayangnya hal ini sering hanya menjadi retorika dan tidak mewujud dalam keseharian pengelolaan sekolah-sekolah kita, oleh karena rupa-rupa sebab, antara lain ego sektoral. Untuk itulah, dibutuhkan kolaborasi nyata,” ujar Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom dalam diskusi panel kegiatan Konfernas Pendidikan dan Gereja 2024, di Auditorium Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Rabu (24/7/2024).
Lanjut Ketum PGI, MPK mendaftarkan 7 pilar Pendidikan yang dapat, atau seharusnya, berkolaborasi, yakni MPK/MPKW, Yayasan Sekolah Kristen, Gereja, Perguruan Tinggi Kristen/FKIP, STT, Dunia usaha atau dunia industry dan pemerintah. Contoh kolaborasi nyata, sinode bisa mendukung program PPG, jika guru-guru ditempatkan di daerah tertentu, maka sinode bisa mendukung dengan kelangsungan hidup dan tempat tinggal bagi para guru PPG.
Lebih jauh dijelaskan, pada masa awal hadirnya sekolah-sekolah Kristen di Indonesia, kolaborasi gereja dan yayasan atau badan pengelola sekolah mewujud dalam sinerji yang nyata. Gereja melihat badan pengelola pendidikan gereja sebagai perpanjangan tangan yang terintegrasi dengan agenda pastoral gereja. Pelimpahan tugas kepada pengelola sekolah tidak diartikan sebagai pelepasan peran dan tanggung-jawab gereja atas pengelolaan sekolah tersebut.
Kolaborasi yang menyejarah sedemikian, lanjut Pdt. Gomar Gultom, mestinya bisa menjadi modal sosial untuk pengembangan kolaborasi nyata di masa kini dan masa depan. Beberapa gereja saat ini mulai memasuki kolaborasi seperti itu, sebagaimana tampak dalam pengelolaan Yapendik oleh GPIB, BPK Penabur oleh GKI, Yayasan Sitanala oleh GPM, BPP oleh HKBP, Yayasan Perguruan Kristen Toraja oleh MS Gereja Toraja, dan lainnya. Memang hal ini tidak mudah.
Sementara kolaborasi dengan pemerintah, menurutnya, memang mengalami pasang surut oleh kebijakan negara yang berubah-ubah, terlebih dengan otonomi daerah saat ini. Kebijakan dan pengelolaan SD dan SMP kini diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, Sekolah Menengah Atas kepada pemerintah propinsi, dan perguruan tinggi oleh Kemndikbuddikti.
“Sebab itu, dibutuhkan kejelian, kemampuan lobi dan teknik negosiasi dari gereja dan pengelola sekolah Kristen dengan pemerintah setempat. Ini lebih tidak mudah lagi. Kolaborasi dalam hal ini hendaknya tidak dilihat hanya menyangkut akses bantuan finansial, tetapi mestinya juga memasuki area proses-proses legislasi dan kebijakan publik pemerintah daerah. Cukup banyak ceritera memilukan jika sekolah Kristen hanya berkutat pada subsidi pemda,” ungkapnya.
Sedangkan kolaborasi sekolah Kristen, MPK dan Perguruan Tinggi Kristen kini lebih dibutuhkan lagi, terutama menyangkut penyediaan dan kaderisasi guru-guru beragama Kristen. Menurutnya, MPH-PGI sudah sejak awal mewanti-wanti merosotnya minat warga gereja menjadi guru, sebuah panggilan profesi yang dahulu menjadi ujung tombak kehidupan gereja. Sementara Ketua MPK berkali-kali juga mengingatkan kita akan kemungkinan krisis ketersediaan guru beragama kriusten di sekolah-sekolah Kristen jika ejak sekarang Fakultas Keguruan dari Perguruan Tinggi Kristen tidak memberi perhatian terhadap hal ini.
Demikian halnya kolaborasi dengan dunia usaha dan dunia industri, merupakan peluang yang tersedia, serta strategis namun nampaknya kurang dilirik oleh sekolah-sekolah Kristen. Padahal dengan ini, bukan saja masalah finansial sekolah, sedikit-banyak, akan terbantu, tetapi juga menyumbang bagi peningkatan relevansi pendidikan itu sendiri, penyediaan peluang praktik magang serta keberlanjutan pengembangan vokasional.
“Dunia usaha dan industri memang memiliki “nature”nya sendiri, yang oleh gereja sering dipandang dengan beragam praduga. Saya tidak hendak menisbikan itu, justru di sini pentingnya kolaborasi gereja bersama MPK/MPKW, pengelola sekolah untuk tetap menjaga agar kolaborasi tersebut, di tengah iklim dunia usaha yang ada, tetap menjunjung prinsip dan nilai-nilai kristiani,” tandasnya.
Panel diskusi juga menghadirkan narasumber Pdt. Darwin Darmawan (Sinode GKI), Prof. Dr. Djawantoro Hardjito (Universitas Petra), dan Prof. Yafet Yosafat W. Rissy (UKSW). Pada kesempatan itu, Pdt. Darwin Darmawan mengurai keberhasilan BPK Penabur, yang menurutnya dikarenakan oleh 6 hal, diantaranya terkait kepemimpinan, budaya disiplin yang kuat, serta akselerasi teknologi.
Pewarta: Markus Saragih