Biro PRB PGI Gelar Pelatihan Peningkatan Kapasitas Tim Penanggulangan Bencana GKS
SUMBA,PGI.OR.ID-Biro Penanggulangan Risiko Bencana (PRB) PGI menginisiasi kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Tim Penanggulangan Bencana Gereja Kristen Sumba (GKS) tingkat sinode, di Gereja GKS Payeti, Cabang Kalu, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama tiga hari berturut-turut (17-19/7/2024).
Sebanyak 30 orang peserta yang terdiri dari tim PRB Sinode GKS, dan perwakilan dari klasis-klasis yang tersebar di seluruh wilayah pelayanan GKS, hadir dalam pelatihan ini. Selain terbangunnya kesiapsiagaan bencana, melalui kegiatan ini juga diharapkan menjadi cikal-bakal munculnya tim PRB GKS di tingkat klasis dan jemaat.
Dalam sambutannya, Wakil Sekretaris Umum PGI, Pdt. Krise Anky Gosal mengatakan, kerentanan bencana yang ada di Indonesia seharusnya diresponi secara bertanggung jawab oleh gereja-gereja di Indonesia. Sebab itu, sejak Sidang Raya PGI di Mamasa pergumulan akan penanggulangan bencana menjadi bagian dari pergumulan gereja-gereja di Indonesia.
Sebagai tindak lanjut, jelas Pdt. Krise, PGI membentuk taskforce khusus untuk pengurangan risiko bencana yang bertugas untuk mengelola penanggulangan bencana di Indonesia. “GKS, sebagai bagian dari persekutuan gereja-gereja di Indonesia, bergumul juga dengan bencana-bencana yang ada. Dengan demikian PRB-PGI dalam kerjasama dengan BPMS Sinode GKS, berupaya untuk melaksanakan program ini,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Sinode GKS, Pdt Marlin Lomi mengungkapkan, kegiatan ini merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan, mengingat kondisi Sumba yang juga rawan terhadap bencana. “Sejak beberapa tahun terakhir, GKS dilanda bencana seperti Seroja, hama belalang, banjir, dan lainnya. Selama ini memang, GKS telah didampingi oleh beberapa mitra GKS, dan manfaat dari pendampingan itu betul-betul dirasakan melalui upaya-upaya GKS dalam membantu warga terdampak. Namun, upaya peningkatan kapasitas masih harus terus dilakukan,” ungkapnya.
Hari pertama pelatihan, diisi dengan 3 sesi diskusi, yaitu peran penanggulangan bencana pemerintah dan peran penanggulangan bencana gereja. Kepala Pelaksana BPBD Sumba menguraikan materi tersebut ke dalam 3 topik penting yakni (1) Kebijakan dan Sistem Penangggulangan Bencana di Indonesia, secara umum, dan di Kab. Sumba, secara khusus; (2) Sejarah Bencana dan Ancaman Bencana di Kab. Sumba; (3) Strategi & Program BPBD Kab Sumba dalam Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana.
Melalui paparan materi ini diharapkan peserta bisa lebih memahami bagaimana peran BPBD Sumba dalam penanggulangan bencana serta bagaimana kemungkinan kerjasama yang bisa dibangun untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan bencana baik oleh gereja, maupun oleh pemerintah setempat.
Materi selanjutnya dibawakan oleh Pdt Shuresj Tomaluweng, terkait strategi dan kebijakan PRB PGI. Peserta diajak untuk sama-sama memproyeksikan program-program yang memungkinkan untuk dilakukan apabila strategi dan kebijakan PRB PGI di adaptasikan dalam program-program bencana GKS.
Sementara sesi 2, menyoroti refleksi teologis bencana yang dialami. Pdt. Marlin Romi dan Pdt Krise Gosal didapuk menjadi narasumber. Keduanya mengurai kondisi bencana yang terjadi serta bagaimana gereja menghadapinya. Pada kesempatan ini, Pdt. Marlin Lomi membahas tentang pengalaman GKS yang berhadapan dengan bencana sejauh pemaknaan teologis yang dialaminya. Sementara Pdt. Krise Gosal tentang bagaimana PGI dalam sejarah pengambilan keputusannya berhadapan dengan isu ini.
Menurutnya, isu kebencanaan tidak berjarak jauh dengan kerusakan alam yang terjadi. Atas perbuatan manusialah, alam pun rusak, dan kita akan menghadapi kiamat ekologis. Dengan demikian sebagai bentuk dari mitigasi bencana, aksi-aksi yang melindungi dan memelihara alam perlu untuk terus dilakukan. Selain bagian dari bentuk dari mitigasi bencana, upaya memelihara lingkungan juga wujud dari cara gereja membangun perdamaian dengan lingkungan.
Di sesi 3, fasilitator Victor Nahusona mengarahkan peserta untuk berbagi harapan apa yang diharapkan melalui kegiatan ini serta mengenali diri sendiri dan kapasitas terkait penanggulangan bencana. Peserta terlihat cukup aktif dan memberikan jawaban yang beragam sehingga fasilitator dan tim dapat mengetahui kapasitas peserta yang mengikuti.
Sesi pamungkas di hari pertama yaitu Gereja Tangguh Bencana, yang disampaikan Ketua Badan PRB Sinode GMIT, Pdt. Adi.
Memasuki hari kedua, peserta diajak untuk mengenal apa itu standard kemanusiaan inti dalam 4 prinsip dan 9 komitmen yang dikenal dalam CHS. Hal ini dimaksudkan peserta mengetahui pedoman-pedoman standard dalam memberikan bantuan kepada para penyintas bencana. Kemudian dilanjutkan dengan kajian risiko bencana, dimana para peserta diajak untuk mampu memetakan potensi bencana melalui analisis sejarah bencana, kalender musim, peta ancaman dan sumber daya, analisis mata pencaharian, analisis hubungan kelembagaan, analisis kapasitas, serta analisisi risiko bencana.
Sedangkan di hari ketiga, setelah seluruh alat analisis digunakan, selanjutnya yang dilakukan merumuskan perencanaan pengurangan risiko bencana. Para peserta diajak untuk merumusukan perencanaan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan. Pada akhirnya para peserta memiliki rancangan program bagi pengurangan risiko bencana baik di tingkat sinode dan tingkat klasis.
Selanjutnya peserta diajak untuk ada dalam sesi seminar dan diskusi bersama Pdt. Paoina Bara Pa selaku perwakilan dari PGIW NTT, yang membahas tentang kordinasi kebencanaan PGIW NTT dengan gereja-gereja anggota PGIW NTT. Dalam paparannya, Pdt Paoina Bara Pa menyoroti kondisi gereja anggota PGIW NTT yang belum terlalu siap menghadapi bencana. Dari 13 gereja anggota PGIW yang ada di wilayah PGIW NTT, baru 2 gereja yang memiliki unit PRB yaitu GMIT dan GKS, sementara gereja-gereja yang lain belum memiliki unit PRB di gereja masing-masing.
Meski sulit, namun menurutnya terlepas dari problem yang dialami, PGIW NTT tetap memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas gereja-gereja anggota dalam penanggulangan bencana.
Pewarta: Markus Saragih