Belajar Keberagaman dari Warga Kampung Jambu
KEDIRI,PGI.OR.ID-Sebagai bangsa yang majemuk, terpaan krisis toleransi yang belakangan terjadi tentu sangat mencemaskan. Sebab, keberagaman adalah nafas kedaulatan negara. Jika langkah preventif tidak dilakukan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat terpecah belah.
Kekhawatiran tersebut dirasakan pula oleh sekumpulan mahasiswa yang menempuh study di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Langkah positif untuk menguatkan toleransi, mereka lakukan dengan mengenal dan meresapi wajah keberagaman Indonesia di tataran lokal.
Untuk itulah, sebanyak 35 orang mahasiswa belum lama ini berangkat menuju Dusun Sumberjo, Desa Jambu, Kabupaten Kediri, yang dikenal masih menjaga kerukunan antar umat beragama. Tidak banyak yang tahu soal keberadaan desa ini, karena jaraknya yang lumayan jauh dari pusat kota Kediri. Menurut Dosen Psikologi Sosial Terapan IAIN Kediri, Sunarno, kegiatan ini merupakan kegiatan kuliah lapangan pada kelas peminatan psikologi sosial semester tujuh.
Desa Jambu terletak di Kecamatan Kayenkidul, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa ini terdiri dari 6 Dusun, yaitu Dusun Kedungcangkring, Dusun Semanding, Dusun Semut, Dusun Jambu, Dusun Suren dan Dusun Sumberejo. Berbatasan dengan Desa Mejono dan Tegowangi di sisi utara, Desa Sukoharjo dan Sambirejo di sisi selatan, Desa Bendo di sisi timur, dan Desa Sekaran di sisi barat. Desa ini berjarak 8 km dari ibukota kecamatan dan 24 km dari ibukota kabupaten serta 110 km dari ibukota provinsi.
Sebelum berangkat, mereka diberikan pembekalan teknis maupun non-teknis. Wawasan seputar sikap memahami perbedaan, prosedur teknik dalam menggali data lapangan, kerukunan dari sudut pandang psikologi dan budaya yang disampaikan oleh Muhammad Mahpur, dosen psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
“Komunikasi dan saling mengenal antar budaya atau agama adalah kunci untuk mengikis prasangka buruk pada orang yang berbeda keyakinan dengan kita,” ujar Kang Mahpur, sapaan akrabnya, ketika berbicara di depan forum yang bertempat di Sekolah Alam Ramadhani Kediri. Mahasiswa dibagi menjadi 5 kelompok dengan fokus penggalian data yang berbeda-beda. Antara lain data individu, pemuda, tokoh masyarakat, pemerintah dan situs bersejarah.
Setelah satu jam berkendara, seluruh peserta tiba di lokasi, tepatnya di kediaman Agus Santoso, Kasun Sumberjo. Tak lama kemudian, acara pun dibuka dan dihadiri oleh kepala dusun, Kepala Desa Jambu, dan sejumlah tokoh lintas agama. “Semoga saya dan juga para mahasiswa dapat belajar kerukunan di tempat ini, lalu hasilnya dapat diaplikasikan untuk hal yang bermanfaat di masyarakat luar sana,” kata Sunarno di depan forum.
Dalam acara pembukaan, dialog interaktif berlangsung. Masing-masing tokoh agama yang datang duduk saling berdampingan. Satu persatu dari mereka berbicara, secara bergantian memperkenalkan diri dan menceritakan bagaimana mereka hidup di masyarakat yang heterogen tapi mampu menjaga kerukunan.
Salah seorang tokoh Dusun Sumberjo, Desa Jambu, Wiwin, yang beragama Kristen, mengatakan bahwa Kristen di kawasan ini memang minoritas, meski begitu di Dusun Sumberjo perempuan itu tidak merasa menjadi minoritas. Pernyataan senada dituturkan oleh tokoh penganut agama Hindu. Mereka tidak merasa minoritas dan tidak merasa terkucilkan.
Hidup berdampingan, sikap saling merangkul dan mengayomi selalu dikedepankan. Bahkan, ketika perayaan agama berlangsung, mereka akan saling membantu. Itu sudah tradisi masyarakat di Dusun Sumberjo. “Ketika umat Islam merayakan Idul Fitri, maka seluruh warga dari berbagai elemen akan ikut keliling bersilaturahmi,” ungkap Agus selaku Kepala Dusun. Begitupun ketika acara Nyepi umat Hindu, masyarakat akan ikut membantu dalam acara ogoh-ogoh. Demikian pula pada perayaan Natal.
Selain tempat ibadah, observasi juga dilakukan dengan mewawancarai pemilik rumah dimana para mahasiswa singgah. Para mahasiswa menghuni lima rumah warga dari berbagai agama berbeda. Mereka dibagi untuk menginap di kediaman warga berkeyakinan Hindu, Kristen dan Islam. Ada pula kegiatan belajar karawitan bersama anak-anak Sumberjo yang dipandu oleh Lukito, salah seorang tokoh masyarakat setempat. Dia memberikan wawasan mengenai tradisi gamelan yang ada di sanggar Sumberjo. Alat musik gamelan yang ada di sana bebas dimainkan oleh kalangan siapa saja.
“Gamelan adalah salah satu sarana pemersatu kerukunan, yang mana unsur alat musiknya berbeda-beda. Filosofinya, ketika semua mampu berinteraksi maka harmoni suara yang indah akan dihasilkan, begitu juga dengan manusia dengan berbagai latar belakang yang berbeda,” ujar Lukito.
Para mahasiswa juga mengikuti perayaan Natal umat kristen. Dari peristiwa ini mahasiswa menyaksikan langsung warga Sumberjo yang saling bahu-membahu membantu dalam kegiatan umat kristen. Para kaum muda yang bernaung dalam karang taruna desa terlihat membantu pada hampir semua aspek acara. Misalnya urusan parkir, penataan panggung, serta mengantarkan konsumsi bagi pengunjung yang datang. Seperti yang dijelaskan oleh para tokoh desa di hari sebelumnya, acara Natal diramaikan oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat agama Islam maupun Hindu.
Ingin masuk lebih dalam bagaimana perspektif mereka menilai agama, agenda diskusi dan ngopi dengan pemuda karang taruna pun digelar. Sama halnya tokoh agama, para karang taruna diisi pula oleh pemuda lintas agama. Hal yang dibicarakan pada forum santai itu adalah bagaimana caranya tradisi majemuk bisa terjaga. “Dimana letak agama menurut perspektif kalian?” tanya salah satu mahasiswa. Pertanyaan salah satu mahasiswa itu langsung ditanggapi oleh Faried, Ketua Karang Taruna Desa Jambu. “Bagi kami agama letaknya ada di hati, ketika kami saling membantu umat agama lain bukan berarti kami mencampuradukan agama. Kami hanya sekadar membantu, tidak ikut acara ritual mereka,” jawab Faried.
Menurutnya, sangat tidak bijaksana apabila hidup berdekatan tapi tidak mau membantu hanya karena berbeda agama. Warga saling membantu atas dasar kemanusiaan. Kegiatan obervasi yang berlangsung selama tiga hari ini, diakhiri dengan presentasi hasil observasi dan wawancara. Kesan positif mereka tangkap dari hasil kegiatan selama dua hari. Aris Nabhan, memberikan komentar di akhir presentasi.
Sebagai Ustad di Pondok Pesantren Lirboyo, Aris mengalami perang batin ketika harus singgah di rumah orang Hindu dan dekat dengan Pura. Dia sempat pula khawatir saat ikut membantu perayaan Natal. “Saya banyak belajar toleransi di Dusun Sumberjo ini. Saya menyimpulkan bahwa orang-orang yang takut untuk membantu atau bersosialisasi dengan non-muslim karena takut aqidahnya luntur sebetulnya dia lah yang lemah imannya,” kata Aris.
Artikel ini ditulis bekerjasama dengan PUSAD Paramadina dan didukung GUYUB – UNDP.
Pewarta: Markus Saragih-dari berbagai sumber.