Bangun Kesadaran KBB, PGI Bersama Sinode GKP Gelar Seminar
BANDUNG,PGI.OR.ID-Hingga menjelang 80 tahun usia Republik Indonesia, persoalan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) masih kerap terjadi, seperti pelarangan dan perusakan rumah ibadah, hingga kekerasan yang menimpa pengikut agama minoritas.
Menyoroti kasus tersebut, PGI bekerjasama dengan Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP), menggelar seminar dan lokakarya bertajuk Pasang Surut Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia” di Kantor Sinode GKP, Kota Bandung (6-7/12/2024).
Pembicara pertama yakni Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan PGI, Pendeta Shuresj Tumaluweng, kemudian memulai dengan membedah isi buku berjudul “Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia, Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum” terbitan PUSAD Paramadina.
Shuresj mengungkap pembicaraan seputar kerukunan seringkali diwarnai sebuah fakta bahwa masih adanya hak-hak yang belum dipenuhi oleh negara terhadap warganya.
Dirinya lalu menjelaskan secara historis sejarah kerukunan beragama yang telah diupayakan sejak masa pra kemerdekaan Indonesia. “Istilah kerukunan sendiri ternyata sudah lebih dikerjakan sejak zaman Hindia Belanda. Kita melihat bagaimana negara saat itu (pemerintah kolonial) mencoba menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada demi kepentingan negara sendiri, seperti halnya di sektor perdagangan. Sehingga persatuan dianggap penting untuk menyatukan kepentingan yang sedang mereka jalankan,” ujar pendeta lulusan sekolah perdamaian di Amerika Serikat, ini.
Lebih lanjut Shuresj berpendapat, kerukunan merupakan kehidupan bersama yang harmonis. Sedangkan kebebasan beragama dapat diejawantahkan sebagai pemenuhan hak warga negara. Oleh karenanya, dorongan untuk menjaga perdamaian atau kerukunan dalam masyarakat yang plural jelas dapat dipahami dan tidak serta merta buruk.
Pegiat Hak Asasi Manusia sekaligus akademisi di Sekolah Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menjadi pemateri kedua dengan menyoroti fakta masih terjadinya miskonsepsi di lapangan di mana pelatihan bertemakan toleransi dan kerukunan yang menyasar pengikut agama minoritas.
Perempuan yang akrab disapa Asfin ini berpendapat, bahwa seharusnya pelatihan tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama diberikan kepada para pengikut agama minoritas. “Dan minoritas itu adalah konsep Hak Asasi Manusia untuk memberikan pengakuan agar orang (masyarakat) melindungi yang minoritas,” ujarnya.
Mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) ini lalu menyinggung soal janji Presiden Prabowo untuk memberikan jaminan penghapusan terhadap praktik diskriminasi termasuk kebebasan dalam berkeyakinan, di masa kampanye capres.
Pendeta Obertina. M. Johanis, aktivis gerakan perempuan dan keberagaman yang kini melayani di GKP Jemaat Dayeuhkolot kemudian menutup sesi dengan membagikan pengalaman tentang bagaimana jemaat Dayeuhkolot yang hingga kini belum bisa melaksanakan peribadatan di gedung gereja milik mereka sendiri.
“Apakah dalam lima tahun (masa pemerintahan Presiden Prabowo) ini kita bisa pulang ke rumah kita sendiri, beribadah di tempat kita sendiri. Sudah dari tahun 1995, sudah hampir 30 tahun kami masih belum bisa (beribadah),” ungkapnya.
Ketika GKP Dayeuhkolot ditutup di tahun 2007, lanjut Obertina, beberapa kali mediasi dengna kelompok intoleran dilakukan guna mencari jalan keluar. Namun pihak gereja acap kali dianggap sebagai pihak yang tidak mampu menjaga kerukunan.
“Karena kerukunan adalah apa yang menjadi pengalaman saya bersama dengan Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama), dengan Jaringan Advokasi Jawa Barat, di mana setiap orang secara sadar memahami bahwa saya dan kamu berbeda tetapi marilah kita hidup bersama-sama, secara damai,” tutupnya.
Pewarta: Ronald Patrick