ATCHAA 2024. Bangun Kesadaran dan Kepedulian terhadap SEMATHA
BANGKOK,PGI.OR.ID-Sekalipun HIV dan AIDS telah dianggap kurang popular dan mendesak untuk direspons oleh beragam pihak, bukan berarti realitas tingginya jumlah Sesama Manusia Terinfeksi HIV dan AIDS (SEMATHA) dapat berakhir dengan sendirinya. Semakin menurun kepedulian terhadap persoalan ini justru berakibat transmisi virus ini semakin meningkat. Terbukti pada beberapa daerah ditemukan penambahan angka transmisi dimaksud.
Secara sadar atau tidak sadar, pada akar rumput, khususnya komunitas umat beragama sendiri berkontribusi terhadap panjangnya persoalan ini. Berawal dari penafsiran dan pendistribusian informasi kepada masyarakat luas tentang penularan virus HIV yang disebabkan oleh moralitas atau perilaku yang bertentang dengan ajaran agama. Dengan memandang rendah serta mengeksklusi para SEMATHA telah menjauhkan kita dari realitas sesungguhnya, serta solusi yang seharusnya dapat diupayakan bersama.
Menyoroti persoalan ini, Christian Conference of Asia (CCA) mengelar konferensi bertajuk Action Together in Combating HIV and AIDS in Asia (ATCHAA) di Bangkok, Thailand, pada 5-7 April 2024. Lebih dari 50 orang pelayan gereja dan aktivis terkait isu HIV dan AIDS mengikuti kegiatan yang menjadi wadah bagi CCA, juga peserta untuk menggumuli, saling berbagi informasi maupun ilmu, serta pengalaman terkait HIV dan AIDS. Beberapa peserta dari Indonesia turut hadir dan menjadi narasumber.
Pada kesempatan itu, dalam makalahnya bertajuk Menuju Inklusi SEMATHA, Sekretaris Eksekutif bidang KKC PGI Pdt. Jimmy Sormin mengutip Galatia 4:12-14, yang menyoroti cara memandang, dan memperlakukan sesama manusia, sebagai para pengikut Kristus.
“Paulus sendiri yang sepatutnya menjadi beban bagi jemaat Galatia, karena sakit dan dipersekusi saat itu, ternyata tetap dipandang seperti malaikat, bahkan seperti Yesus Kristus sendiri. Maka jelas Tuhan bersama setiap orang, dan itu hanya bisa kita lihat ketika Tuhan sendiri hadir dan bekerja dalam diri kita, Dia mentransformasi cinta-kasih dalam diri kita,” katanya.
Dengan demikian, lanjut Pdt. Jimmy, kita dapat mengasihi orang lain tanpa syarat, sebagaimana mengasihi Kristus, serta berinteraksi sebagai sesama gambaran Allah sendiri. Karenanya dibutuhkan relasi yang intim dengan Tuhan. Bentuk perlakuan dan kasih kita terhadap SEMATHA dapat menjadi indikator kualitas relasi tersebut.
Sedangkan Nadia Manurung dari HKBP AIDS Ministry melihat, komunitas sangat berpengaruh dalam pencapaian ‘Ending AIDS 2030,’ yakni nol infeksi HIV baru, nol kematian karena AIDS, nol stigma, dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV (ODHIV). Menurutnya, jika stigma dan diskriminasi masih tinggi di tengah-tengah masyarakat, maka angka infeksi HIV baru akan terus meningkat dan juga kematian karena AIDS. Tentunya dalam hal ini dibutuhkan kerja sama yang serius dan berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas.
Nadia berharap CCA mendorong semua gereja anggotanya untuk memiliki layanan HIV dan AIDS, demikian juga kepada PGI terhadap gereja-gereja anggotanya. Gereja dapat berpartisipasi mulai dari pewajiban setiap calon pengantin untuk menerima konseling dan tes HIV, sebelum menikah dalam rangka mengurangi infeksi HIV baru.
Sementara itu, merefleksikan pengalamannya secara teologis dan praktis, mewakili Yayasan Pesona Bumi Pasundan Arisdo Gonzalez mengingatkan bahwa sama seperti Yesus menyentuh orang kusta dan Lady Diana menyentuh orang dengan HIV, kita dapat melakukan tindakan yang sama untuk merengkuh mereka yang terpinggirkan. Diharapkan gereja dan organisasi keagamaan dapat membuka kacamata baru dalam merengkuh sesama manusia, khususnya orang dengan HIV.
Hal senada juga diungkapkan Pdt. Linda Patricia Ratag. Perwakilan Gereja Masehi Injili Minahasa/UKIT ini, mengingatkan agar kita belajar dari Yesus, yang tidak hanya memberi pengajaran tetapi juga mendemostrasikan kasih-Nya kepada mereka yang membutuhkan. Demikian pula gereja perlu berpartisipasi dalam tindakan atau aksi kemanusiaan, termasuk bagi mereka yang rentan terhadap HIV.
Konferensi yang berlangsung 3 hari ini, diakui memberi pembelajaran penting bagi peserta. Seperti penuturan Meta Osemargaretha Ginting dari Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum, juga Pdt. Jeny Elna Mahupale mewakili Gereja Protestan Maluku. “Pembelajaran paling penting dari konferensi ini bahwa, meskipun banyak tantangan gereja perlu mewujudkan kasih dalam bentuk pelayanan yang inklusif dan melibatkan setiap individu apapun latarbelakang serta kondisi hidupnya,” ujar Meta Ginting.
Keduanya berharap semua pihak, baik Gereja, LSM, masyarakat, beserta seluruh stakeholders dapat bekerja secara inklusif dengan prinsip saling menghargai dan menghormati dan memberi rasa cinta kasih, aman, damai dan sukacita. Selain itu, ada jaringan yang terintegrasi antara gereja dan komunitas dalam urusan pengendalian HIV dan pemberdayaan SEMATHA.
Pdt. Hinna Praing dari Gereja Kristen Sumba, melihat perjumpaan eikumenis ini merupakan kesempatan untuk mendengar dan didengarkan, berbagi pengalaman menarik tentang panggilan gereja dan komunitas untuk hadir serta bergumul bersama dengan sesama yang menderita dan terpinggirkan, bahkan terbuang.
“Sebab itu, sangat penting bagi kita untuk membangun ruang inklusif yang dipenuhi cinta kasih di dalam gereja bagi semua orang. Gereja dan komunitas diharapkan dapat bersinergi untuk membangun kesadaran dan kepedulian bagi SEMATHA, dan aktif terlibat dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV,” ujarnya.
Demikian pula Timotius Hadi. Perwakilan dari Jaringan Indonesia Positif ini, juga mengaku mendapatkan pembelajaran. Konferensi ini turut menceritakan dan membagikan kasih untuk mereka yang rentan. Selain itu, membuka pintu bagi mereka yang memerlukan kasih Tuhan. Gereja dan tokoh agama diharapkan dapat menerima kaum rentan terhadap HIV, sehingga kasih Tuhan menyembuhkan mereka yang terluka.
Pewarta: Markus Saragih