29 Tahun Perkumpulan Perempuan Alumni Berpendidikan Teologi (PERUATI)

Oleh: Ruth Saiya
Beta berkenalan dengan PERUATI secara dekat tahun 2014, saat mengikuti kegiatan Membaca Alkitab Dengan Mata Baru di Jemaat GPM Ema Klasis Pulau Ambon Timur. Jadi kira-kira sudah satu dekade. Waktu itu BPD Peruati Maluku (sependek ingatan beta) ada (alm.) Ibu Lien Ruhulessin, Ma Ina Rina Talaway, Ma Ova Mailoa, Mam Non Wattimury, Usi Ati Iwamony. Mungkin ada yang lainnya tapi beta tidak ingat semuanya.
Sekarang PERUATI MALUKU telah bermetamorfosa menjadi 6 daerah yakni Ambon, Nusa Ina 1, Nusa Ina 2, Fina Bupolo, Kidabela dan Kalwedo. Perkenalan itu membuat beta mendalami PERUATI lewat beberapa literature yang diterbitkan seperti buku Teologi Rahim dan Jurnal Sophia.
Kemarin beta membeli dua buku yang diterbitkan oleh PERUATI. Buku pertama judulnya Menyingkap Tabir Kelam, Mendengar Suara Korban Kekerasan Seksual di Gereja. Ada tiga narasi penyintas yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengungkapkan pelecehan seksual yang mereka alami melalui tulisan bahwa mereka pernah dilecehkan oleh pendeta, orang yang dianggap panutan dalam gereja. Buku ini melengkapi referensi kita bahwa kekerasan seksual itu bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja dan siapa saja bisa menjadi korban. Buku yang kedua berjudul Seperempat Abad Gerakan Feminis Kristen di Indonesia.
Buku ini berisikan refleksi 25 tahun PERUATI. Buku ini lahir dalam kepemimpinan kak Darwita Purba sebagai ketua BPN Peruati. Pada masa ini beta mengenal kak Darwita dan pemikirannya, visinya yang oikumenis dalam ‘rumah’ bersama ini. Buku ini juga merupakan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Kak Darwita Purba, Ibu Lies Sigilipu, Kaka Irene Umbu Lolo, kak Evi Nurleni dan kak Obertina Johanis. Pada buku ini, kita akan membaca jejak langkah PERWATI ke PERUATI dari periode ke periode sebagai sebuah gerakan dan sekaligus sebagai rumah bersama. Dan dilanjutkan sampai sekarang ini, dari Persekutuan ke Perkumpulan.
Bagi beta dua buku ini menjadi sangat penting dalam gerakan perempuan (Kristen) di Indonesia. Sekaligus menjadi sumber pengetahuan berbasis pengalaman perempuan. Dari sejumlah literature itu, pemikiran perempuan dan gerakan perempuan di Indonesia ikut terpetakan. Isu yang digumuli setiap tahun atau setiap periode adalah isu lokal sekaligus global. Beta mengutip pendapat Prof. Sulistyowati Irianto dalam semiloka yang diselenggarakan PERUATI di Wisma GPIB Jakarta kemarin, ‘sejarah kita ini ditulis separoh’.
Narasi perempuan dalam sejarah itu belum ada. Pernyataan itu tentu diungkapkan dari realitas hidup berbangsa, dan sangat berkorelasi dengan sejarah bergereja yang juga masih kehilangan narasi perempuan di dalamnya. Termasuk sejarah kepemimpinan perempuan di gereja.
Jika kita membaca sejarah gerakan perempuan di Indonesia, dari masa Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang, herstory masih menjadi catatan pinggir dari grand history. Wajah bangsa ini dan gereja-gereja di Indonesia masih berwajah maskulin dan patriarki. Percakapan-percakapan tentang kepemimpinan di gereja masih didominasi oleh nama-nama laki-laki. Jika ada nama perempuan yang dimunculkan orang-orang akan membuat standard bukan lagi ganda tapi multiple standard kepada perempuan. Pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kapasitasnya dimunculkan dan mengecilkan akses dan ruang partisipasinya dalam tanggung jawab kepemimpinan di gereja.
Menurut beta, menulis dan mendokumentasikan kehadiran perempuan, peran dan aktifitasnya dalam tanggung jawab di gereja dan masyarakat menjadi tak bisa diabaikan. Dari tulisan-tulisan yang didokumentasikan itu, sejarah lahirnya PERUATI 29 tahun lalu tak tak lepas dari peranan Biro Wanita PGI (sekarang Biro Perempuan dan Anak) dan PERSETIA. Dan kalau sekarang, beta membacanya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Persekutuan Gereja Gereja di Indonesia (PGI) yang kemarin berulang tahun ke-74 tahun. Artinya sejarah PERUATI adalah bagian dari arak arakan sejarah PGI dan atau sebaliknya, di dalam sejarah PGI ada sejarah PERUATI. PERUATI adalah salah satu gerakan feminis yang oikumenis di Indonesia. Isu-isu feminis yang digumuli PERUATI mestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari pergumulan bersama di PGI dan gereja-gereja anggotanya.
Beta sadari, tak ada satu gerakan yang sempurna. Setiap kritikan, usul, saran menjadi undangan untuk PERUATI menata rumah berrsama ini dan menjadi ‘oase’ dalam perjuangan menuju keadilan gender. Setiap perubahan (nama, platform, maupun isu dan teologi yang digumuli) menjadi cara PERUATI bermetamorfosa sesuai konteks yang dihidupinya agar bisa menjadi rumah. Suatu waktu, dalam ziarah ini pun, tak menutup ruang bahwa kita akan berjumpa dengan ‘oase’ yang lain. Tapi setidaknya PERUATI menjadi salah satunya yang menyemai nilai-nilai feminis.
Harapan beta, sebagai organisasi perempuan, sebagai gerakan dan rumah bersama, kekuatan PERUATI bukan saja pada berapa banyak produksi pengetahuan tentang feminisme yang dilahirkan, tapi juga pada bagaimana menghidupinya dalam lakon tiap hari, dalam tugas-tugas kepemimpinan, pelayanan dan pengabdian, untuk transformasi dan perubahan menuju keadilan gender.
Selamat Ulang tahun ke-29 PERUATI, tetaplah menjadi ‘rumah’ dalam ziarah perjuangan bersama.
Penulis, Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM)